Sejarah Kraton Kasultanan Ngayogyakarta di Kota Yogyakarta

budayaindonesia.web.id – Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat, juga dikenal sebagai Keraton Yogyakarta, adalah istana tradisional yang terletak di Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kraton ini dibangun pada tahun 1755 oleh Sultan Hamengkubuwono I dan telah menjadi rumah bagi keluarga kerajaan Yogyakarta selama lebih dari 250 tahun. Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah salah satu tempat wisata terkenal di Yogyakarta dan merupakan saksi sejarah kebesaran Kerajaan Mataram Islam.

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat memiliki luas sekitar 14 hektar dan terdiri dari beberapa kompleks yang dipisahkan oleh tembok dan gerbang. Di dalam kompleks Kraton terdapat berbagai bangunan istana, termasuk Pagelaran (tempat upacara dan acara istana), Pendopo (tempat penerimaan tamu), Kencana (tempat penyimpanan barang berharga kerajaan), dan beberapa museum yang memajang koleksi seni dan kerajinan tradisional.

Selain bangunan istana, Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat juga menyimpan berbagai koleksi seni dan budaya tradisional. Di antaranya adalah wayang kulit, gamelan, batik, dan senjata tradisional. Ada juga pertunjukan seni tradisional seperti tari-tarian dan musik gamelan yang disajikan di area Kraton, serta kerajinan tangan tradisional yang bisa dijadikan oleh-oleh.

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah simbol kebudayaan dan sejarah Kota Yogyakarta. Kunjungan ke Kraton menjadi pengalaman yang sangat berharga bagi wisatawan yang ingin mengetahui lebih dalam tentang kebudayaan dan sejarah Indonesia, khususnya Yogyakarta. Dalam setiap sudut Kraton, terdapat pesan dan nilai-nilai budaya yang patut dihargai dan dijaga untuk generasi mendatang.

Tidak hanya kraton Ngayogyakarta sedang terdapat 3 yang lain ialah Kasunanan Surakarta, Pura Mangkunegaran, serta Pura Pakualaman, yang semenjak tahun 2004 keempat kraton itu disatukan dalam media Catur sagotra yang bermaksud buat mempersatukan keempat trah dalam jalinan kecocokan ajaran adat serta ketergantungan asal usul kakek moyang Mataram.

Kehadiran Kraton Ngayogyakarta tidak dapat dilepaskan dari asal usul berdirinya Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat yang diawali dari akad Giyanti pada tahun 1755 ataupun diketahui dengan palihan negari.

Pada dikala Mataram( Surakarta Hadiningrat) diperintah oleh Susuhunan Pakis Buwono II, Pangeran Bendahara adik dari Susuhunan Pakis Buwono II berarti buat mengatur pantai utara Jawa selaku tahap penting kurangi akibat VOC di alam Mataram. Hendak namun, dampak penghianatan serta ketakjujuran yang dicoba oleh Patuh Pringgoloyo yang dibantu VOC, tahap Pangeran Bendahara menemui jalur tersumbat. Perihal itu mendesak Pangeran Bendahara pergi dari kastel semenjak bertepatan pada 4 Jumadilawal 1671 ataupun 19 Mei 1746 buat melaksanakan perlawanan kepada VOC.

Pada dikala Nicholas Hartingh mendiami kedudukan Gubernur Jawa Utara di Semarang, ia memiliki metode buat menuntaskan permasalahan yang ditimbulkan oleh perlawanan Pangeran Bendahara. Pendekatan pada Pangeran Bendahara serta menawarkan jalur perdamaian merupakan metode yang diseleksi oleh Hartingh. Siuman kalau ia tidak dapat melaksanakannya sendiri hingga Hartingh mengutus seseorang generasi Arab, Syekh Ibrahim ataupun lebih diketahui dengan Tuan Sarip Besar, buat menawarkan jalur negosiasi pada Pangeran Bendahara.

Pertemuan Pangeran Bendahara dengan Nicolas Hartingh dilaksanakan di dusun Padagangan, Grobogan pada bertepatan pada 22– 23 September 1754, dengan 3 ulasan ialah:

1. Penjatahan Wilayah

2. Titel Raja Sunan serta Sultan

3. Posisi pusat rezim kerajaan buat Pangeran bendahara ing Ngayogyakarta.

Perjanjian yang didapat ialah konsep dini akad yang setelah itu diketahui selaku Palihan Nagari. Hasil perjanjian ini di informasikan pada Gubernur Jenderal serta Pakis Buwono III. Tutur akur dari Pakis Buwono III didapat pada bertepatan pada 4 November 1754. Setelah itu butir- butir perjanjian itu dituangkan dalam dokumen Akad Giyanti.

Puncaknya pada bertepatan pada Kamis Kliwon 29 Illah’ ulakhir 1680 ataupun 13 Februari 1755, Akad Giyanti ditandatangani oleh pihak- pihak terpaut. Ada pula yang turut memaraf akad itu dari pihak Pangeran Bendahara di antara lain: 1). Pangeran Harya Hamangkunagara Mataram; 2).

Pangeran Ngabehi Lering Pasar; 3). Pangeran Natakusuma; 4). Pangeran Harya Pakuningrat; 5). Bupati Danureja; 6). R. T. Rangga Prawiradirja. Sebaliknya dari pihak VOC di antara lain:

1). Nicolaas Hartingh
2). W. van Ossenberch
3). J. J. Steenmulder
4). W. Fockens.

Isi dari akad Giyanti itu merupakan:

1. Pangeran Mangkubhumi dinobatkan selaku Baginda dengan titel Sri Baginda Hamengku Bhuwana Sénapati ing Alaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah, serta menggenggam kewenangan setengah dari negara Mataram, yang hendak diwariskan bebuyutan.

2. Patuh selaku aku dalem dengan jenjang besar yang menjalan kan perintah- perintah besar dibawah kontrol VOC.

3. Baginda membagikan belas kasihan pada seluruh bupati yang lebih dahulu mensupport VOC.

4. Baginda tidak hendak menuntut ha katas area Madura serta area tepi laut( pantai) yang telah diserahkan oleh Sunan Pakis Bhuwana II pada VOC.

5. Baginda mau mentaati perjanjian- perjanjian yang sudah disetujui oleh raja- raja Mataram lebih dahulu dengan VOC.

6. Baginda hendak terbebas dari akad bila VOC membelit- belitkan isi akad.

Dengan ditandatanganinya akad Giyanti itu, sesi dini Kasultanan Yogyakarta diawali. Pada Kemis Pon, 13 Maret 1755( 29 Jumadilawal 1680 TJ) Pangeran Bendahara dinobatkan selaku raja awal Ngayogyakarta Hadiningrat dengan titel” Sri Baginda Hamengku Bhuwana Sénapati ing Alaga Ngabdurrahman Sayidin Panatagama Kalifatullah”.

Sebab kraton Ngayogyakarta belum berakhir dibentuk hingga pada hari Kamis Pon, 13 Sura 1681 ataupun 9 Oktober 1755 Baginda Hamengku Bhuwono bertempat di penginapan Ambar Ketawang. Pada Kamis Pahing, 13 Sura 1682 ataupun 7 Oktober 1756 Baginda Hamengku Bhuwono bersama keluarga mulai menaiki kraton dengan diisyarati sengkalan memet” Dwi Dragon Rasa Tunggal”( 1682 J) yang diukir di bilik kelir Regol Magangan serta” Dwi Dragon Rasa Wani”( 1682 J) yang dikukir di bilik Regol Gadhung Mlathi.

Rancangan serta Filosofi Aturan Ruang Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

1. Aturan Posisi Kraton Yogyakarta

Karaton Yogyakarta terdapat di tanah latar yang diapit 6 bengawan( Codé, Winanga, Gajah Wong, Bedhog, Opak, Praga) yang harmonis serta sisi utara terdapat Gunung Merapi serta Samodra Hindia di sisi selatan.

Posisi serta peran yang begitu membuktikan Kraton Yogyakarta terletak pada sanctuary zona( wilayah yang disucikan).

Ikatan Gunung Merapi, Kraton, serta Laut Selatan ialah konsepsi Tri Hitta Karana selaku Sumbu Abstrak, serta ikatan Tugu- Kraton- Panggung Krapyak ialah konsepsi Lingga- Yoni selaku Sumbu Filosofi.

Oleh Sri Baginda HB I selaku arsitek atau Designer aturan ruang Kraton Yogyakarta, konsepsi yang Hinduistis itu diganti jadi filosofi Islam- Jawa. Sumbu Abstrak diganti jadi rancangan filosofi Hamemayu Hayuning Bawana& Manunggaling Abdi Baginda, lagi Sumbu Filosofi diganti jadi rancangan filosofi Sangkan Paraning Dumadi, dengan Kedhaton selaku titik pusat( centrum) filosofi dengan divisualisasikan lampu Kyai Wiji yang tidak sempat mati semenjak Sri Baginda HB I bertahta.

Dari Pentas Krapyak hingga Kedhaton menandakan asal orang dilahirkan hingga tiba berusia, menikah serta melahirkan( Sangkan). Dari Monumen Batu Putih hingga kedhaton menandakan ekspedisi orang mengarah si Inventor( Paran).

Spesial dari Auditorium Manguntur Tangkil ke utara hingga Monumen ialah arah penglihatan Baginda pada dikala khalwat di auditorium Manguntur Tangkil mengarah ke utara dengan Monumen Golong- Gilig selaku titik penglihatan( poin of view).

Tipe vegetasi dari Monumen hingga akhir utara Jalur Pangurakan tipe vegetasi asli yang ditanam merupakan tumbuhan Asem serta Gayam. Asem berarti sengsem( terpikat), serta Gayam berarti menjaga( reda atau rukun).

Tipe vegetasi dari Pentas Krapyak hingga Plengkung Nirbaya( Plengkung Gading) melukiskan ekspedisi kematangan seseorang wanita. Tipe vegetasi yang ditanam tumbuhan Asem serta Tanjung. Tumbuhan Asem berarti sengsem, lagi daun tumbuhan Asem yang sedang belia bernama Sinom berarti anom( belia). Filosofi yang tercantum pada tumbuhan Asem ini kalau wanita yang sedang anom( belia) hendak meninimbulkan rasa sengsem( terpikat) untuk seseorang jejaka, hingga tetap disanjung( dilambangkan dengan tumbuhan Tanjung).

2. Filosofi Vegetasi di Karton Yogyakarta

Isi filosofi vegetasi( tumbuhan) di Kraton Yogyakarta tidak cuma menempel pada gedung raga saja tetapi pula pada tipe vegetasi khusus yang dipercaya memiliki angka simbolik serta filosofis khusus yang hendak mempengaruhi kepada tindakan serta sikap orang di dalam melindungi ikatan dengan Si Inventor, dampingi orang serta alam. Selanjutnya ilustrasi vegetasi( tumbuhan) yang memiliki arti simbolik serta filosofis khusus:

A. Beringin( Ficus bengalinsis)

Tumbuhan beringin menandakan proteksi, kesamarataan serta bertabiat kekal. Tumbuhan beringin pula menandakan bersatunya abdi serta baginda, ataupun orang dengan atasan, ataupun manunggalnya orang dengan Tuhannya yang divisualisasikan dengan 2 ringin kurung di alun– alun kraton.

Didalam bahasa sansekerta tumbuhan beringin diucap pula nyagrodha ataupun satavrksa yang dihubungkan dengan kosmos dewa Wisnu. Dengan cara teknis tumbuhan beringin berperan selaku penyerap CO2, produsen O2 serta filter hawa yang kilat serta banyak.

B. Tanjung( Mimusops elengi)

Tumbuhan Tanjung terdapat di dalam Prasasti Siwagrha( 856 Meter) yang mengatakan kalau di halaman candi Prambanan sisi timur berkembang tumbuhan tanjung yang

dipakai selaku perantara turunnya dewa ke alam, dengan dahan- dahan tumbuhan tanjung yang rimbun selaku payungnya. Dengan cara teknis tumbuhan Tanjung populer selaku tumbuhan penyerap abu.

C. Gayam( Inocarpus edulis)

Tumbuhan gayam berarti menjaga( reda) ataupun ayem( aman). Dengan cara metode tumbuhan gayam berperan selaku penyimpan, pemelihara serta penjernih air, hingga tumbuhan gayam sering ditanam ditepi bengawan, namun tumbuhan gayam yang ditanam di linkungan kraton didapat dari arti filosofisnya bukan dari guna teknisnya.

D. Sawo Kecik( Manilkara kauki)

Sawo kecik banyak ditanam di laman kedhaton ataupun rumah adiwangsa. Tumbuhan sawo kecik memiliki arti sarwa becik( serba bagus)

E. Asam( Tamarindus indica)

Tumbuhan asam( Asem Jw.) berarti sengsem( terpikat) lagi daun asam yang sedang belia diucap sinom yang berarti anom( belia). Sinom pula julukan dari rambut lembut di jidat perempuan.

F. Kemuning( Murraya paniculata)

Arti tumbuhan kemuning menandakan kesakralan serta kebeningan berfikir( didapat dari kaum tutur ning= sepi dari kemuning). Tumbuhan kemuning menegaskan orang supaya selalau mensucikan batin serta berfikir bening.

G. Kepel Watu

Arti tutur kepel merupakan kepalan tangan orang yang memiliki arti antusias buat bertugas. Watu dari tutur waton yang berarti bawah. Tumbuhan kepel pula menandakan bersatunya keinginan serta angan- angan.

Baca juga : Upacara Adat Budaya di Seluruh Indonesia

H. Duwet Darsana( Eugenia malasensis) serta Duwet Klampok Arum( Eugenia Densiflora)

Duwet darsana didapat dari tutur sudarsana yang berarti ilustrasi atau tauladan, lagi Duwet Klampok pula diucap Duwet Dompolan yang menandakan aman. Arti filosofis dari kedua tumbuhan duwet itu kalau seseorang atasan supaya bisa jadi ilustrasi yang dipandu dengan mengatakan yang wangi alhasil bisa jadi pemersatu atau mendamaikan seluruh yang dipandu.

Raja- raja Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat

1. Sri Baginda Hamengku Buwono I( 1755- 1792)

Diketahui dengan julukan Pangeran Bendahara, penggagas serta pembina Istana Yogyakarta ini lahir pada bertepatan pada 5 Agustus 1717 dengan julukan Bendara Raden Abang( BRM) Sujono. Pangeran Bendahara ialah putra Sunan Amangkurat IV lewat garwa selir yang bernama Abang Cantik Tejawati. Sri Baginda Hamengku Buwono I meninggal pada bertepatan pada 24 Maret 1792( 1 Ruwah 1718 TJ), dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan Imogiri.

2. Sri Baginda Hamengku Buwono II( 1792- 1828)

Lahir di lereng Gunung Sindoro pada bertepatan pada 7 Maret 1750 dari maharani kedua Sri Baginda Hamengku Buwono I( bunda, Baginda Kanjeng Istri raja( GKR) Kadipaten), beliau diberi julukan kecil RM. Sundoro.

Penobatannya selaku Sri Baginda Hamengku Buwono II pada bertepatan pada 2 April 1792.

Baginda Hamengku Buwono II dituntut turun tahta oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda Herman Willem Daendels serta digantikan oleh putra mahkotanya RM. Surojo selaku Hamengku Buwono III pada bertepatan pada 31 Desember 1810.

3. Sri Baginda Hamengku Buwono III( 1810- 1814)

Dia mempunyai julukan kecil Raden Abang Surojo, lahir pada bertepatan pada 20 Februari 1769. Merupakan putra Sri Baginda Hamengku Buwono II dengan Baginda Kanjeng Istri raja Kedhaton.

Pada umurnya yang ke 41, persisnya Bulan Desember 1810, terjalin aksi gerombolan Belanda ke Istana Yogyakarta selaku ekor konflik antara Sri Baginda Hamengku Buwono II dengan Letnan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels. Dampak dari konflik ini, Sri Baginda Hamengku Buwono II dilengserkan dari jabatannya oleh penguasa kolonial Belanda serta digantikan oleh Raden Abang Surojo.

Pada bertepatan pada 3 November 1814( 19 Dulkangidah 1741), Sri Baginda Hamengku Buwono III meninggal pada umur 45 tahun. Dia dimakamkan di Astana Kasuwargan, Pajimatan, Imogiri

4. Sri Baginda Hamengku Buwono IV( 1814- 1822)

Lahir pada bertepatan pada 3 April 1804 dengan julukan kecil Baginda Raden Abang Ibnu Jarot, dia ditunjuk jadi putera kekuasaan dikala penobatan bapaknya selaku baginda pada bertepatan pada 21 Juni 1812. Tidak lama berjarak, putra Sri Baginda Hamengku Buwono III dengan maharani Baginda Kanjeng Istri raja Hageng ini naik tahta selaku Sri Baginda Hamengku Buwono IV pada bertepatan pada 9 November 1814 kala usianya sedang 10 tahun.

Sri Baginda Hamengku Buwono IV Wafat pada tanggal 6 Desember tahun 1823( 22 Rabingulawal 1750), Saat itu Sri Baginda Hamengku Buwono IV sedang berumur 19 tahun.

5. Sri Baginda Hamengku Buwono V( 1823- 1855)

Lahir pada bertepatan pada 20 Januari 1821, putera Sri Baginda Hamengku Buwono IV dengan Baginda Kanjeng Istri raja Kencono ini diberi julukan Baginda Raden Abang Gatot Menol. Tahun 1823, kala ayahandanya meninggal, dia dinaikan jadi Sri Baginda Hamengku Buwono V kala terkini tiba umur 3 tahun.

6. Sri Baginda Hamengku Buwono VI( 1855- 1877)

Dilahirkan dengan julukan Raden Abang Mustojo pada bertepatan pada 10 Agustus 1821, dia merupakan putera dari Sri Baginda Hamengku Buwono IV dari maharani Baginda Kanjeng Istri raja Kencono. Dinobatkan selaku Sri Baginda Hamengku Buwono VI pada bertepatan pada 5 Juli 1855.

Pada bertepatan pada 20 Juli 1877( 9 Rejeb 1806 TJ), kala dia tiba umur 56 tahun, Sri Baginda Hamengku Buwono VI tutup umur. Dia dimakamkan di Astana Besiyaran, Pajimatan Imogiri.

7. Sri Baginda Hamengku Buwono VII( 1877- 1921)

Raden Abang Murtejo, begitu julukan kecil dia, lahir pada bertepatan pada 4 Februari 1839 dari kandungan Baginda Kanjeng Istri raja Baginda( Baginda Kanjeng Istri raja Hageng). Dia merupakan putra dari Sri Baginda Hamengku Buwono VI. Tiba umur 36 tahun dia mengambil alih posisi ayahandanya selaku Baginda, sehabis Sri Baginda Hamengku Buwono VI ajal. Pada bertepatan pada 22 Desember 1877 dia sah naik tahta dengan titel Sri Baginda Hamengku Buwono VII.

Sri Baginda Hamengku Buwono VII meninggal pada bertepatan pada 30 Desember 1921( 29 Rabingulakir 1851). Dia dimakamkan di Astana Saptorenggo, Pajimatan Imogiri.

8. Sri Baginda Hamengku Buwono VIII( 1921- 1939)

Pada bertepatan pada 3 Maret 1880, lahirlah putra Sri Baginda Hamengku Buwono VII dari kandungan Baginda Kanjeng Istri raja( GKR) Hemas yang diberi julukan Baginda Raden Abang( GRM) Sujadi. Sehabis berusia GRM Sujadi bergelar Baginda Pangeran Haryo( GPH) Puruboyo yang nanti dinobatkan selaku Sri Baginda Hamengku Buwono VIII. Pada bertepatan pada 8 Februari 1921, GPH Puruboyo setelah itu dinobatkan selaku Sri Baginda Hamengku Buwono VIII.

Sri Baginda Hamengku Buwono VIII meninggal pada bertepatan pada 22 Oktober 1939 di Rumah Sakit Panti Apik, Yogyakarta. Sri Baginda Hamengku Buwono VIII dimakamkan di Astana Saptarengga, Pajimatan Imogiri.

9. Sri Baginda Hamengku Buwono IX( 1940- 1988)

Baginda Raden Abang Dorojatun, begitu julukan yang disandang dia kala kecil. Dilahirkan pada bertepatan pada 12 April 1912, dia merupakan anak kesembilan Sri Baginda Hamengku Buwono VIII dari istri kelimanya, Raden Ajeng Kustilah ataupun Kanjeng Istri raja Alit.

10. Sri Baginda Hamengku Buwono X( 1989- sekarang)

Terlahir dengan julukan Bendara Raden Abang( BRM) Herjuno Darpito pada bertepatan pada 2 April 1946 di Yogyakarta. Dinobatkan selaku Baginda di Istana Ngayogyakarta Hadiningrat pada bertepatan pada 7 Maret 1989 ataupun Hari Selasa Wage, bertepatan pada 29 Rajab 1921 bersumber pada penanggalan Tahun Jawa.

One thought on “Sejarah Kraton Kasultanan Ngayogyakarta di Kota Yogyakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back To Top